Perang Ahzab atau perang Khandaq
adalah salah satu pertempuran yang sangat melelahkan. Memang
pertempuran dalam arti saling bunuh membunuh dalam jarak dekat tidak
banyak terjadi. Namun, 10000 pasukan multinasional yang mengepung
Madinah telah membuat kaum muslimin tidak sempat melakukan shalat
Zhuhur, Ashar, dan Maghrib. Bahkan "hanya" sekedar kencing saja juga
tidak sempat.
Selesai perang yang sangat melelahkan secara phisik dan psikis ini,
Rasulullah saw hendak beristirahat barang sejenak. Karenanya, beliau
sarungkan dan gantungkan pedang dan senjata beliau. Namun Allah swt
tidak menginginkan beliau dan kaum muslimin beristirahat. Karenanya,
Allah utus malaikat Jibril as untuk menemui Rasulullah saw. Sambil
tetap berada di atas bighal, malaikat Jibril as berkata: "Sepertinya
engkau sudah meletakkan senjatamu, wahai Rasulullah saw? Padahal para
malaikat belum meletakkan senjata mereka ...". Rasulullah saw sadar
bahwa Allah swt, melalui Jibril, telah memerintahkannya untuk
melanjutkan jihad, kendatipun ia belum sempat beristirahat barang
sejenak.(Tahdzib Sirah Ibnu Hisyam).
Riwayat ini menggambarkan kepada kita agar kita "tidak berhenti" dalam dan dari berjihad.
Pada suatu hari, ada beberapa orang Anshar sedang berkumpul-kumpul.
Salah seorang diantara mereka, yaitu Abul Ayyub Al-Anshari, berkata:
"Sekarang Islam telah jaya, telah eksis, dan telah kokoh. Sebaiknya
kita kembali ke ladang-ladang kita, kebun-kebun kita, kita urus lagi
harta kekayaan kita yang selama ini "terbengkalai" dan kita garap lagi
lahan-lahan itu dengan serius, lahan yang selama ini telah kita
"tinggalkan" dalam rangka berjihad fi sabilillah, dan hasilnya kita
infaqkan fi sabilillah juga, sementara jihad di medan laga biar
ditangani oleh saudara-saudara kita lainnya".
Pada saat itu pula Allah swt menurunkan firman-Nya: "Dan belanjakanlah
(harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu
sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (QS Al Baqarah: 195).
Sedangkan riwayat yang satu ini menggambarkan kepada kita bahwa
kehancuran, atau kebinasaan, atau istilah Al Qur'annya tahlukah akan
terjadi manakala kita meninggalkan jihad.
Kalau dua riwayat ini kita hubungkan dengan sirah Rasulullah saw lainnya, kita akan temukan data-data berikut:
- Peperangan yang dipimpin oleh Rasulullah saw secara langsung (ghozwah) ada 26 ghozwah.
- Peperangan yang tidak dipimpin oleh Rasulullah saw secara langsung (sariyyah) ada 38 sariyyah.
Maka kita akan dapat menarik satu kesimpulan bahwa manuver Rasulullah
saw dan para sahabatnya itu tiada henti dan tanpa putus. Bagaimana
tidak, waktu yang kurang lebih sepuluh tahun itu terisi oleh peperangan
64 kali peperangan.
Sungguh, sebuah manuver yang menggambarkan betapa Rasulullah saw dan
para sahabatnya senantiasa menumpahkan segala potensi dan kemampuan yang
dimilikinya secara maksimal dan tiada henti, sehingga "tidak ada"
waktu lagi untuk bersitirahat dan "meng-andai-andaikan" hal-hal yang
sifatnya duniawi. Kalau hal itu kita ibaratkan sebagai air yang
mempunyai potensi besar untuk menerjang apa saja, maka aliran air itu
tiada pernah berhenti.
Kalau Al Qur'an surat Al Baqarah ayat 195 itu kita hubungkan dengan
pengibaratan air ini, kita bisa katakan bahwa justru kalau air itu
berhenti, dan tidak lagi mengalir, maka air itu akan menjadi rusak,
kotor, sarang nyamuk, dan sumber penyakit, serta berubah warnanya.
Begitu juga dengan potensi jihad yang ada pada kita. Bila potensi jihad
itu kita berhentikan, baik jihad da'awi, jihad ta'limi, jihad irsyadi,
jihad tarbawi, jihad bina-I (jihad membina), jihad qitali dan
jihad-jihad lainnya, maka potensi itupun akan bernasib sama dengan air
itu. Karenanya wajar bila Allah swt memperingatkan para sahabat akan
datangnya tahlukah kepada mereka bila mereka meninggalkan jihad, dan
menyibukkan diri dengan urusan pertanian, kehutanan dan perkebunan.
Firman Allah swt diatas dipertegas juga oleh hadits Rasulullah saw yang
menyatakan: "Jika kalian telah berjual beli secara 'ienah (rekayasa
dan akal-akalan dalam praktek riba), kalian telah mengambil ekor sapi
dan puas (asyik) dengan pertanian serta meninggalkan jihad, niscaya
Allah swt akan menjadikan kehinaan menguasai kalian yang tidak akan
dicabut sehingga kalian kembali kepada agama kalian." (HR Abu Daud dan
Ahmad, dan Syekh Nashirud-Din Al Al Bani menilainya hasan).
Berkenaan dengan hal ini simaklah apa yang dikatakan oleh Sayyid Qutub dalam salah satu bukunya:
"Yang demikian ini karena, hakikat iman tidak akan sempurna dalam hati, melainkan setelah:
1.Bermujahadah dalam menghadapi orang banyak dalam urusan iman
ini; Mujahadah dengan hati; bentuknya: membenci kebatilan mereka,
jahiliyyah mereka dan bertekad memindahkan mereka dari kebatilan dan
jahiliyyah itu kepada kebenaran dan Islam. Mujahadah dengan lisan;
bentuknya: Tabligh.dan bayan (penerangan). Menolak kebatilan mereka yang
merupakan kepalsuan itu. Menegaskan kebenaran yang dibawa Islam. Dan
mujahadah dengan tangan atau pisik; bentuknya: menolak dan
menyingkirkan mereka-mereka yang melakukan penghadangan terhadap jalan
hidayah dengan mempergunakan kekuatan yang melampaui batas dan
penghancuran yang curang.
2.Merasakan melalui mujahadah-nya itu: Ujian (ibtila' atau
tribulasi) dan rasa sakit. Bersabar atas ibtila' dan rasa sakit itu.
Bersabar atas kekalahan. Dan Bersabar atas kemenangan, karena, bersabar
atas kemenangan lebih berat (sulit) dari pada bersabar atas kekalahan.
Kemudian …
3.Tetap Tsabat (tegar) dan tidak ragu-ragu, istiqamah dan tidak
menolah-noleh dan terus maju meniti jalan iman dengan terus menanjak
dan tidak tersesat". Selanjutnya Sayyid Qutub mengatakan:
"Dan hakikat iman tidak sempurna dalam hati sehingga menghadapkannya
untuk mujahadah menghadapi orang banyak dalam urusan iman ini, sebab,
saat ia mujahadah menghadapi orang banyak itu: Ia sendiri bermujahadah
melawan dirinya sendiri. Dan akan terbuka baginya wawasan dan
pemandangan keimanan yang belum pernah terbuka baginya selamanya bila
ia hanya duduk (diam) dengan aman dan tenang. Akan jelas baginya
hakekat-hakekat tentang manusia dan kehidupan yang belum pernah manjadi
jelas baginya selamanya tanpa adanya wasilah (sarana) ini. Dan ia
sendiri -dengan jiwanya, segala perasaannya, persepsi-persepsinya,
kebiasaannya, tabiatnya, emosinya dan responnya- akan sampai pada
sesuatu yang tidak mungkin sampai kepadanya tanpa pengalaman berat dan
sulit ini".
Lebih lanjut Sayyid Qutub mengatakan: "Inilah sebagian dari yang
diisyaratkan firman Allah swt : Seandainya Allah tidak menolak
(keganasan) sebahagian manusia dengan sebagaian yang lain, pasti
rusaklah bumi ini. (QS Al Baqarah: 251).
Dan kerusakan yang pertama kali terjadi adalah kerusakan jiwa manusia
(nafsul insan), kerusakan yang terjadi karena rukud (diam, tidak
bergerak, atau istilahnya berharakah, tidak mengalir), rukud yang
menyebabkan: Ruhnya membusuk akibat adanya stagnasi. Himmah
(semangat)-nya istirkha' (mengendor, lembek, loyo, tidak kenceng). Nafs
(jiwa)-nya rusak dikarenakan adanya rakha' (bergelimangnya harta
dunia) dan tharawah (tidak teruji dan terlatihnya jiwa itu dengan
hal-hal yang berat). Yang pada akhirnya seluruh kehidupanpun menjadi
rusak gara-gara rukud tadi. Atau karena hanya bergerak pada bidang
syahwat saja, sebagaimana yang terjadi pada bangsa-bangsa yang
mendapatkan cobaan dalam bentuk kemewahan hidup".
Sumber: keadilan.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar